Indonesia sempat mengalami
kehancuran ekonomi yang selama ini telah dibangun melalui sendi-sendi kebijakan
orde baru mulai merangkak kembali menyusun fondasi perekonomiannya.
International Financial Corporation (IFC) mengkaitkan klasifikasi bursa saham
dengan klasifikasi negara. Jika negara tersebut masih tergolong sebagai negara
berkembang, maka pasar di negara tersebut juga dalam tahap berkembang, meskipun
bursa sahamnya berfungsi penuh dan diatur secara baik.
Pasar modal berkembang dapat
diidentifikasi melalui suatu negara, apakah negara tersebut merupakan negara
maju atau tergolong negara berkembang. Indikatornya adalah pendapatan perkapita
dari suatu negara, biasanya yang termasuk dalam negara berpenghasilan rendah
sampai menengah. Namun karakteristik yang paling mencolok adalah dilihat nilai
kapitalisasi pasarnya yaitu banyaknya perusahaan yang tercatat, kumulatif
volume perdagangan, keketatan peraturan pasar modal, hingga kecanggihan dan
kultur investor domestiknya.
Konsekuensi pasar modal
berkembang adalah nilai kapitalisasi pasarnya yang kecil. Ukuran suatu
kapitalisasi pasar biasanya dilihat dari rasio perbandingan dengan nilai produk
domestik bruto suatu negara. Selain itu konsekuensi lainnya adalah terdapatnya
volume transaksi perdagangan yang tipis (thin trading) yang disebabkan oleh
ketidaksingkronan perdagangan (non-syncronous trading) di pasar. Perdagangan
yang tidak singkron disebabkan oleh banyaknya sekuritas yang teracatat tidak
seluruhnya diperdagangkan, artinya terdapat beberapa waktu tertentu dimana
suatu sekuritas tidak terjadi transaksi (Hartono, 2003).
Indonesia yang sampai saat ini
masih tercatat di IFC masih sebagai negara berkembang dengan iklim investasi
terburuk di regional Asia Timur. Walaupun dengan catatan seperti itu, pada
kenyataannya kita masih dilirik oleh investor asing. Kenyataannya bahwa
terdapat perusahaan-perusahaan nasional dengan notabene berada di sektor
strategis negara, ditawar oleh beberapa institusi asing melalui akuisisi saham.
Terdapatnya aliran dana masuk sebagai investasi yang pada umumnya merupakan
penanaman modal asing seharusnya bisa menjadi pendongkrak perekonomian secara
makro.
Alasan utama investor asing
memindahkan dananya ke negara berkembang adalah karena negara berkembang
memiliki potensi-potensi usaha yang belum tergali seluruhnya, seperti pada motif
klasik investasi ke negara lain. Michael Fairbanks dan Stace Lindsay konsultan
senior pada Monitor Company mengemukakan tujuan investor asing datang ke
negara-negara miskin yaitu biasanya hanya melihat kesempatan untuk menarik
sumber daya alam , upah kerja murah dan sebagai sasaran produk atau jasa yang
tidak berkualitas bagus.
Namun terdapat alasan lain yang
mendampingi motif tersebut, yaitu perbedaan yang mencolok dengan negara maju.
Jika kita gunakan pendekatan daur hidup usaha maka negara berkembang masuk
dalam kategori bertumbuh (growth) dibanding negara maju yang masuk dalam
kategori matang (mature). Artinya bahwa terdapat daya tarik dari pertumbuhan
ekonomi yang tinggi yang tentu saja disertai oleh return yang tinggi pula,
karena pertumbuhan ekonomi merupakan indikator agregat dari industri di suatu
negara. Misalnya bisnis telekomunikasi selular di Indonesia yang tergarap
secara padat baru di Pulau Jawa saja, sedangkan di luar itu masih berpotensi
tinggi untuk dijadikan pangsa pasar baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar